NUNUKAN – Anggota DPRD Nunukan Andre Pratama mengaku heran atas beredarnya isu pemalsuan tanda tangan ketua DPRD Nunukan, Hj. Rahma Leppa dalam undangan rapat paripurna LKPJ Bupati Nunukan tahun 2024 yang digelar 26 Maret 2025.
“Surat undangan ditandatangani wakil ketua I DPRD Nunukan, Arpiah dan beliau hadir memimpin paripurna. Lalu apakah mungkin ibu Arpiah memalsukan tanda tangannya sendiri,” kata Andre, Kamis (03/042025).
Pelaksanaan paripurna LKPJ Bupati tahun 2024 telah pula dikoordinasikan dengan bagian persidangan dan bagian umum Sekretariat Dewan (Sekwan) selalu penyelenggara serta pembuat surat undangan paripurna.
Andre menjelaskan, rapat paripurna yang dipimpin wakil ketua I DPRD Nunukan, Arpiah bersama wakil II DPRD Nunukan Hj. Maryati dinyatakan sah karena jumlah anggota DPRD yang hadir memenuhi syarat kuorom.
“Sekali lagi kami tegaskan tidak ada pemalsuan tanda tangan. Paripurna LKPJ digelar atas persetujuan 5 fraksi DPRD Nunukan,” tuturnya.
Penyebar isu tanda tangan palsu tidak memahami persoalan dan dipastikan tidak hadir di paripurna, karena paripurna tertanggal 26 Maret 2025 bukanlah undangan pukul 10:30 Wita, namun melainkan undangan pukul 13:00 Wita.
Andre menerangkan undangan paripurna LKPJ pukul 10:30 Wita dibatalkan lantaran jumlah anggota yang hadir tidak kuorum, sehingga masing-masing ketua fraksi DPRD berinisiatif menggelar rapat bersama wakil I dan wakil II DPRD Nunukan.
Dari hasil pertemuan itulah, wakil DPRD Nunukan Arpiah bersama anggota DPRD memutuskan tetap menggelar paripurna di hari yang sama pukul 13:00 Wita, dihadiri Bupati Nunukan H. Irwan Sabri dan perwakilan pimpinan organisasi perangkat daerah.
“Kalau ketua DPRD Nunukan merasa tandatangannya dipalsukan, silahkan tanya ke bagian umum Sekwan selaku pembuat undangan paripurna,” jelasnya.
Lembaga legislatif memiliki mekanisme kerja yang bersifat kolektif kolegial yang apabila ada satu orang pimpinan berhalangan, maka tugasnya akan didelegasikan kepada pimpinan lain dan tentunya harus pula diketahui ketua fraksi.
Tiap pengambilan keputusan tidak selalu harus mendapat persetujuan ketua DPRD, karena ketua DPRD dalam lembaga legislatif bersifat pimpinan pertemuan rapat bukan selaku pengambil keputusan dewan.
“Pimpinan DPRD bukan seperti pimpinan perusahaan, kepala dinas atau kepada daerah yang bisa memutuskan sendiri, dan sebelum rapat pimpinan harus memanggil ketua fraksi meminta pendapat,” bebernya.
Andre mengaku heran masih ada anggota dewan yang tidak memahami aturan kolektif kolegial, padahal sudah diberikan pembekalan Bimbingan Teknis (Bimtek) mekanisme penyelenggaraan administrasi lembaga legislatif.
Kalaupun masih keberatan dengan penyelenggaraan paripurna, Andre memberikan saran sebaiknya membuat laporan keberatan ke kepolisian atas dugaan tanda tangan palsu, bukan membuat bias-bias isu yang tidak jelas. (AA)